Suatu hari, seorang anak bertanya pada ayahnya, "Ayah, bolehkah aku berbicara tentang Tuhan? Bolehkah aku mempertanyakan sosoknya?" Sang ayah pun tersenyum. Kemudian ia menjawabnya dengan singkat, "Kalau Ayah boleh tahu, kenapa kamu ingin melakukannya?"
"Aku ingin mengenalnya, aku ingin mencarinya, aku ingin memeluk dan juga memarahinya."
"Apa salah Tuhan sehingga kamu juga ingin memarahinya?"
"Karena ia menciptakan gelap dan membuatku takut tidur sendirian."
"Lalu, apa alasan kamu ingin memeluknya?"
"Karena ia ayahku bila Ayah sedang tidak ada."
Sang ayah kemudian memangkunya sambil berbisik, "Kalau begitu, ayo kita cari Tuhan bersama-sama."
Si kecil langsung berteriak gembira. "Ayo, ayo... kita akan kemana, Ayah? Sembahyang? Berdoa? Apakah aku bisa menemukannya dalam ritual ibadah? Dapatkah aku menjumpainya lewat kitab suci?"
Sang ayah kembali tersenyum. "Bisa. Kamu bisa menemukannya di sana, bila kamu mau. Sama halnya seperti menemukannya di dalam hatimu sendiri, atau menemukannya di saat kamu tidak menginginkan kehadirannya."
Si kecil mengernyitkan keningnya, "Maksud Ayah? Tuhan ada di dalam sini?" Tangan mungilnya menunjuk ke dada.
Ayah mengangguk, "Itu juga bila kamu menginginkannya."
Kernyitan si kecil semakin tampak di keningnya.
"Lalu Ayah, dia juga bisa kutemukan bila aku tidak menginginkannya? Bagaimana caranya?"
"Sayang, apakah sosok Tuhan bagimu?"
Si kecil pun mulai berceloteh dengan gembira, "Umm... dia adalah seorang kakek berjenggot yang kadang menjaga tidurku. Tetapi bila ayah di sampingku, dia hanya melihatku saja."
Ayahnya tertawa. "Wah, Tuhan itu saingan Ayah, ya... kenapa tidak jadi saingan Ibu saja?"
Si kecil langsung menjawab, "Itu karena Ibu ada di rumah, Ibu menidurkanku waktu Ayah belum pulang."
Ayah bertanya lagi, "Kalau Ibu sedang ke luar kota, bagaimana?"
Si kecil berpikir sejenak, "Ah, ya sudah, berarti Tuhan mengutus istrinya untuk menjagaku."
Ayah menimbali dengan bersemangat, "O, ya? Siapa istrinya itu?"
Si kecil diam saja, pikirannya langsung bekerja. "Umm... ya Tuhan juga," katanya ragu.
"Ya.. ya.. ya.. Tuhan juga! Tuhannya perempuan, cantik sekali. Tapi lebih cantik Ibu." Kali ini suaranya terdengar mantap.
Ayahnya pun tertawa renyah. "Jadi Tuhannya ada dua?"
"Ya kan gantian, Yah... seperti Ayah dan Ibu yang bergiliran menjagaku."
"Kalau hari libur, Ayah dan Ibu kan sama-sama ada di rumah?"
"Ooohhh... ya berarti... kadang-kadang Tuhan itu ada dua-duanya."
"Yang laki-laki dan yang perempuan?"
"Bukan. Kali ini Tuhan jadi sahabatku bermain. Tuhannya gendut dan lucu sekali, ia suka menggodaku."
"Terus sekarang Tuhannya ada tiga?" Ayah tak sabar menunggu jawaban si kecil.
Kemudian lagi-lagi si kecil itu menjawab, "Yaaa.. kan gantian."
Ayahnya pun tersenyum kecil. Kemudian ia berkata lagi, "Apa Tuhan pernah bertengkar denganmu, Nak?"
Si kecil menjawab dengan antusias, "Iya.. iya... pernah. Waktu itu ia tidak datang. Yang ada malah gelap. Kata Ibu Guru di sekolah, yang menciptakan gelap itu Tuhan, yang menciptakan matahari juga. Jadi aku marah padanya. Kok bisa sih aku ditinggal sendirian begini, katanya ia sayang padaku."
"Tuhan sayang padamu?"
"Iya dong, buktinya ia mau ada buatku."
"Lalu kamu juga sayang padanya?"
"Iya. Tapi kadang-kadang aku juga kesal."
"Kalau kamu sedang kesal, apa yang kamu inginkan?"
"Ngambek," katanya judes. "Aku tidak mau bertemu dengannya."
"Jadi saat itu Tuhannya tidak ada, dong?"
"Ehhh..iya. Ia tidak ada, tapi juga tidak hilang."
"Ia ada di mana?"
Si kecil langsung berpikir lagi, bola matanya mulai bergerak-gerak ke atas dan ke samping. "Umm... aku mengurungnya, supaya ia tidak bisa bermain. Aku menghukumnya, sama seperti ketika Ibu melarangku nonton TV."
Ayahnya tahu bahwa sebentar lagi si kecil akan mengerti, "Dikurungnya di mana, Nak? Kasihan sekali ya, Tuhan itu..."
Si kecil kembali menggerakkan bola-bola matanya. Kemudian mulutnya mulai bergerak hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dahinya mulai berkerut-kerut lagi. Akhirnya ia pun menjawab, "Ayah, tidak perlu kasihan. Tuhannya kujaga baik-baik di dalam sini." Jari telunjuknya mengarah ke dada. Kemudian bibirnya mengembang dengan senyuman, "Tuhan bisa ada di dalam sini, ya, Ayah? Juga pada saat aku tidak menginginkannya."
Ayah pun mengacak-acak rambut si kecil. "Tapi, Yah, di sekolah, mereka bilang, Tuhan itu kan jauh di sana, di surga. Lalu kalau ingin bertemu Tuhan dan meminta sesuatu, kita harus berdoa. Katanya Tuhan pasti mengabulkan. Lalu ada pertemuan rutin beberapa kali sehari, katanya wajib, Yah, Tuhan yang suruh. Terus Tuhan juga bisa marah, katanya kita bisa dibakar, Yah. Di oven besar yang namanya neraka, katanya Tuhan menghitung pahala dan dosa kita, Yah. Wahhh.. Tuhan kok jadi jahat begitu, ya?"
"Kamu ingin Tuhan menjadi seperti itu?" "Nggaaaakkkkk. Tuhannya pelit sekali, ya, Yah? Tuhannya pandai menghitung, walaupun ia punya malaikat-malaikat yang membantunya. Terus, Tuhannya hanya mau bertemu kalau kita mau berdoa, Yah. Tuhannya sombong sekali, ya? Padahal aku tidak perlu berdoa hanya untuk berbicara padanya, dalam setiap harapan dan pikiranku, aku sudah berkomunikasi dengannya. Tuhan juga hadir dalam setiap mimpiku, ia bahkan mengetahui dan terkadang bermimpi bersamaku."
"Hahaha... ya kalau begitu, jangan berpikir seperti itu, dong, kecuali kalau kamu menginginkan hubunganmu dengan Tuhan diatur sedemikian rupa. Dan kecuali kalau kamu masih takut pada Tuhan. Pada saat dan di tempat ajaran itu diciptakan, manusia sedang susah diatur, dimana-mana timbul kejahatan. Banyak orang tertindas. Mereka semua perlu sesuatu yang menakutkan agar bisa mengendalikan diri mereka, agar timbul aturan yang sangat efektif, tepat guna. Apa kamu bandel sehingga harus diatur begitu?"
"Aduuhhhh Ayah... aku kan anak baik... hehehe... lagipula, Tuhan itu kan sangat dekat denganku. Tapi Yah, ada temanku bilang, di rumahnya banyak patung manusia. Itu juga Tuhan, katanya. Itu anak Tuhan. Tapi Ibunya bukan istri Tuhan. Kok bisa, ya? Aku sih tidak mau jadi anak Tuhan, aku ingin jadi anak Ayah dan Ibu saja."
Ayahnya tertawa lagi, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sayang, semua anak bisa jadi anak Tuhan, kalau ia mau, lho... Dan anak Tuhan yang diceritakan temanmu itu adalah hanya salah satu manusia yang bisa menyimpan Tuhan dalam hatinya, dan kemudian ia menolak aturan-aturan yang mutlak dan menggantinya dengan hukum kasih. Namun, terkadang definisi kasihnya hanya diartikan sebatas kasih yang indah, tulus, dan tidak menyakitkan. Padahal, kita bisa lebih mengasihi dalam rasa sakit, ketika kita mengetahui bagaimana rasanya disakiti dan menyakiti orang lain."
"Wah, Tuhan dan aku juga makin akrab ketika kami berbaikan kembali setelah bertengkar. Kami bisa belajar dari kekesalan dan kebencian kami."
Sambil tersenyum ayah kemudian berkata, "Lagipula, kamu juga bisa jadi Tuhan. Itu kalau kamu mau."
"Yang benar, Yah? Aku? Bisa jadi Tuhan?"
"Waktu Tuhan kamu hukum atau waktu ia tidak datang, lantas siapa yang menggantikannya?"
"Ya tidak ada. Saat itu tidak ada Tuhan."
"Lalu siapa yang menemanimu saat sendirian itu?"
"Umm... ya aku. Hanya ada aku, Yah. Diriku sendiri."
"Kamu yang menjaga dirimu sendiri?"
"Iya."
"Bertanggung jawab atas dirimu sendiri?"
"Iya."
"Saat itu kamu senang?"
"Ya, aku memang menciptakan rasa senang, Yah, biar aku tidak sedih dan takut lagi."
"Nak, saat kamu bisa menciptakan sesuatu, kamu menjadi Tuhan bagi dirimu sendiri."
"Wah, Ayah benar juga! Kali itu giliran aku sendiri, ya, yang menjadi Tuhan."
Saat itu adalah salah satu kebanggaan yang tak terkira bagi sang ayah. Keesokan harinya, si kecil sedang merengut ketika ayahnya datang.
Ayah langsung mendekatinya sambil merujuk, "Kenapa, Nak, Tuhanmu telat menengokmu lagi? Atau ia sedang membuat kamu kesal?"
Si kecil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu mulai berbicara dengan nada sedih. "Tadi di sekolah, aku berbicara pada beberapa guru tentang Tuhanku. Eh, mereka marah, Yah. Mereka bilang, aku tidak taat, dan Tuhan pasti marah besar padaku. Memang salahku apa sih, Yah? Tuhan kan sayang padaku, ia tidak akan menghukum aku karena dekat dengannya kan, Yah?"
Sang Ayah mengerti betul bagaimana kecewanya si kecil hari ini. Ayah menarik napas panjang dan mengelus rambut si kecil yang panjang. "Hanya itu yang mereka katakan padamu?"
Si kecil mulai menangis, "Teman-temanku malah mengejekku. Mereka bilang aku ini aneh. Malah ada yang bilang aku ini sok tahu. Sepertinya berbicara tentang Tuhan menjadikanku sangat aneh." Si kecil terisak-isak. Ayah mengangkat wajah si kecil dan merangkulnya.
"Sayang, apakah kamu ingat yang Ayah katakan kemarin, bahwa setiap orang menemukan Tuhan bisa dimana saja?"
Si kecil mengangguk, "dan bahwa setiap orang bisa mendapatkan Tuhan kalau ia menginginkannya, Yah?"
Ayah mengiyakan. "Mereka yang mengejek ataupun marah padamu, itu karena mereka tidak mau memilih jalan sepertimu. Mereka hanya bisa mengerti Tuhan sebatas aturan-aturan atau ajaran yang mereka terima sejak kecil. Mereka mungkin merasa menemukan Tuhan dalam setiap ritual dan setiap menjalankan aturan, tapi mereka tidak mampu melihat di luar itu, ketika kita menyayangi Tuhan seperti menyayangi diri kita sendiri."
"Mereka juga tidak mungkin jadi Tuhan ya, Yah?" Si kecil mulai tersenyum. Ayah langsung tertawa dan mencium pipinya lembut. "Mereka tidak bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Setiap saat mereka memerlukan tumpuan hidupnya."
"Wahhhh... Ayahku memang hebat...." Ayah didekapnya kuat-kuat. Setelah melepaskan dekapannya, Ayah berkata pelan, "Anak manisku, suatu saat mungkin aku tidak cukup hebat lagi untukmu. Kamu akan cukup matang untuk berdebat denganku. Suatu saat kamu bisa membangkang dengan alasan-alasan yang kuat. Dan aku akan menunggu sampai saatnya tiba, sayang. Agar kita bisa lebih saling mencintai."
Air mata mulai mengalir kembali di pipi si kecil. Didekap erat Ayahnya sekali lagi. Selama ini Tuhan tidak pernah bisa melebihi ayahnya, tapi ia sadar itu terjadi karena ia memang tidak menginginkannya. Suatu saat, mungkin saja ia menciptakan Tuhan yang jauh lebih hebat dari Ayah. Suatu saat ia akan menciptakan Tuhan yang baik sekaligus buruk bagi dirinya sendiri. Ia akan belajar dari Tuhan. Ia akan menjadi Tuhan.
"Aku akan kehilangan Tuhan," pikirnya. Tapi kemudian ia ingat bahwa ia tidak pernah membiarkan Tuhan menguasai dirinya, dan itu berarti bahwa ia juga tidak akan pernah kehilangan Tuhan.
Perlahan-lahan, si kecil merasakan Tuhan mencium keningnya, merapikan selimutnya, dan kemudian menutup pintu. Di luar, pada saat yang sama, ia mendengar suara mobil ayahnya memasuki garasi rumah.
- Membicarakan Tuhan adalah sesuatu yang manusiawi
- Membicarakan Tuhan bukan suatu omong kosong yang tidak bermanfaat
- Memperdebatkan Tuhan tidak berarti terkurung dalam "ada" dan "tidak ada"
- Mendiskusikan Tuhan berarti menggali potensi diri
- Memunculkan Tuhan berarti menghadapi suatu realitas hidup; dengan segala kesulitan dan keindahannya.
*) Dikompilasi dari milis